bismillah.jpg
أَلا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ .
الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ


Ketahuilah!
Sesungguhnya wali-wali Allah, tidak ada kekhuwatiran terhadap mereka, dan mereka pula tidak bersedih hati. Wali-wali Allah itu ialah orang-orang Yang beriman serta mereka pula sentiasa bertaqwa. (Yunus 10: 62-63)

Love for Allah


If my love is attached to Thee
Then from sin I will be free
Each time my heart will beat
Your name will resound with heat
With your name shivers my each limb
They seek to be released from whim
Allah, Allah, is my hearts speech
Your Mercy is what I beseech
The Most Merciful keep me content
With all that You have sent
Keep in my heart Your remembrance
And in Your deen and love allow me to advance
Help me in my quest
Permit me to pass the ultimate test
Save me from the clutches of Satan
Give me death upon Imaan.

Definisi Hadits Dhoif

Habib Mundir Al Musawa

Hadits Dhoif adalah hadits yang lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum matannya, mengenai beramal dengan hadits dhaif merupakan hal yang diperbolehkan oleh para Ulama Muhadditsin.

Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak sepantasnya kita menafikan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak pembagiannya.Dan telah sepakat jumhur para ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan berlandaskan dengan hadits dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan hukum thaharah.

Hadits dhoif banyak pembagiannya, sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi 81 bagian, adapula yang menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya dalam 42 bagian. Namun para Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib. Inilah pendapat yang mu’tamad, namun tentunya bukanlah hadits dhoif yang telah digolongkan kepada hadits palsu.

Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu dinamai hadits munkar, atau mardud, batil, maka tidak sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan (menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya kufur.

Rasulullah Saw bersabda : “Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku maka
hendaknya ia bersiap - siap mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits
No.110).
Sabda beliau SAW pula : “sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama
seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap
mengambil tempatnya di neraka” (Shahih Bukhari hadits No.1229).

Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti mereka melarang sebagian ucapan atau sunnah Rasul saw, dan mendustakan ucapan Rasul
saw.
Wahai saudaraku ketahuilah, bahwa hukum hadits dan Ilmu hadits itu tak ada di zaman
Rasulullah saw. Ilmu hadits itu adalah bid’ah hasanah, baru ada sejak Tabi’in, mereka membuat syarat perawi hadits, mereka membuat kategori periwayat yang hilang dan tak dikenal, namun mereka sangat berhati – hati karena mereka mengerti hukum, bila mereka salah walau satu huruf saja, mereka bisa menjebak ummat hingga akhir zaman dalam kekufuran, maka tak sembarang orang menjadi muhaddits, lain dengan mereka ini yang dengan ringan saja melecehkan hadits Rasulullah saw.

Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa kini yang mengaku – ngaku sebagai pakar hadits. Seorang ahli hadits mestilah telah mencapai derajat Al Hafidh. Al Hafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal 100.000 hadits berikut hukum sanad dan matannya, sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum matannya, lalu bagaimana dengan yang hafal 100.000 hadits?

Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang disebut Al Hujjah (Hujjatul Islam) yaitu yang hafal 300.000 hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya, diatasnya adalagi yang disebut : Al Hakim, yaitu pakar hadits yang sudah melewati derajat Al Hafidh dan Al Hujjah, dan mereka memahami banyak lagi hadits – hadits yang teriwayatkan. (Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalaniy).

Sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal 1.000.000 hadits dengan sanad dan
matannya (*rujuk Tadzkiratul Huffadh dan Siyar A’lamunnubala dan lainnya dari buku -
buku Rijalulhadits) dan Ia adalah murid dari Imam Syafii rahimahullah, dan di zaman itu terdapat ratusan Imam – Imam pakar hadits.
Perlu diketahui bahwa Imam Syafii ini lahir jauh sebelum Imam Bukhari, Imam Syafii
lahir pada tahun 150 Hijriyah dan wafat pada tahun 204 Hijriyah, sedangkan Imam Bukhari lahir pada tahun 194 Hijriyah dan wafat pada 256 Hijriyah. Maka sebagaimana sebagian kelompok banyak yang meremehkan Imam syafii, dan menjatuhkan fatwa – fatwa Imam Syafii dengan berdalilkan Shahih Bukhari, maka hal ini salah besar, karena Imam Syafii sudah menjadi Imam sebelum usianya mencapai 40 tahun, maka ia telah menjadi Imam besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia.

Lalu bagaimana dengan saudara - saudara kita masa kini yang mengeluarkan fatwa dan
pendapat kepada hadits – hadits yang diriwayatkan oleh para Imam ini? Mereka menusuk
fatwa Imam Syafii, menyalahkan hadits riwayat Imam - Imam lainnya.
Seorang periwayat mengatakan hadits ini dhoif, maka muncul mereka ini memberi fatwa
bahwa hadits itu munkar, darimanakah ilmu mereka? Apa yang mereka fahami dari ilmu
hadits? Hanya menukil - nukil dari beberapa buku saja, lalu mereka sudah berani berfatwa, apalagi bila mereka yang hanya menukil dari buku - buku terjemah, memang boleh - boleh saja dijadikan tambahan pengetahuan, namun buku terjemah ini sangat dhoif bila untuk dijadikan dalil.

Saudara – saudaraku yang kumuliakan, kita tidak bisa berfatwa dengan buku - buku, karena buku tidak bisa dijadikan rujukan untuk mengalahkan fatwa para Imam terdahulu, bukanlah berarti kita tidak boleh membaca buku, namun maksud saya bahwa buku yang ada zaman sekarang ini adalah pedoman paling lemah dibandingkan dengan fatwa - fatwa Imam - Imam terdahulu, terlebih lagi apabila yang dijadikan rujukan untuk merubuhkan fatwa para Imam adalah buku terjemahan.

Sungguh buku - buku terjemahan itu telah terperangkap dengan pemahaman si penerjemah, maka bila kita bicara, misalnya terjemahan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ini hafal 1.000.000 hadits, lalu berapa luas pemahaman si penerjemah atau pensyarah yang ingin menerjemahkan keluasan ilmu Imam Ahmad dalam terjemahannya?
Bagaimana tidak? Sungguh sudah sangat banyak hadits - hadits yang sirna masa kini, bila kita melihat satu contoh kecil saja, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1.000.000 hadits, lalu kemana hadits hadits itu? Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad haditsnya hanya tertuliskan hingga hadits No.27.688, maka kira kira 970.000 hadits yang dihafalnya itu tak sempat ditulis…!

Lalu bagaimana dengan ratusan Imam dan Huffadh lainnya? Lalu logika kita, berapa juta hadits yang sirna dan tak sempat tertuliskan? Mengapa?
Tentunya dimasa itu tak semudah sekarang, kitab mereka itu ditulis tangan, bayangkan
saja seorang Imam besar yang menghadapi ribuan murid – muridnya, menghadapi ratusan
pertanyaan setiap harinya, banyak beribadah dimalam hari, harus pula menyempatkan waktu menulis hadits dengan pena bulu ayam dengan tinta cair ditengah redupnya cahaya lilin atau lentera, atau hadits hadits itu ditulis oleh murid – muridnya dengan mungkin 10 hadits yang ia dengar hanya hafal 1 atau 2 hadits saja karena setiap hadits menjadi sangat panjang bila dengan riwayat sanad, hukum sanad, dan mustanadnya.

Bayangkan betapa sulitnya perluasan ilmu saat itu, mereka tak ada surat kabar, tak ada telepon, tak ada internet, bahkan barangkali pos jasa surat pun belum ada, tak ada pula percetakan buku, fotocopy atau buku yang diperjualbelikan.

Penyebaran ilmu dimasa itu adalah dengan ucapan dari guru kepada muridnya (talaqqiy),
dan saat itu buku hanyalah 1% saja atau kurang dibanding ilmu yang ada pada mereka.
Lalu murid mereka mungkin tak mampu menghafal hadits seperti gurunya, namun paling
tidak ia melihat tingkah laku gurunya, dan mereka itu adalah kaum shalihin, suci dari kejahatan syariah, karena di masa itu seorang yang menyeleweng dari syariah akan segera diketahui karena banyaknya ulama.

Oleh sebab itu sanad guru jauh lebih kuat daripada pedoman buku, karena guru itu berjumpa dengan gurunya, melihat gurunya, menyaksikan ibadahnya, sebagaimana ibadah yang tertulis di buku, mereka tak hanya membaca, tapi melihat langsung dari gurunya, maka selayaknya kita tidak berguru kepada sembarang guru, kita mesti selektif dalam mencari guru, karena bila gurumu salah maka ibadahmu salah pula.
Maka hendaknya kita memilih guru yang mempunyai sanad silsilah guru, yaitu ia mempunyai riwayat guru – guru yang bersambung hingga Rasul saw dan kau betul - betul mengetahui bahwa ia benar - benar memanut gurunya.

Hingga kini kita ahlussunnah waljamaah lebih berpegang kepada silsilah guru daripada buku – buku, walaupun kita masih merujuk pada buku dan kitab, namun kita tak berpedoman penuh pada buku semata, kita berpedoman kepada guru – guru yang bersambung sanadnya kepada Nabi saw ataupun kita berpegang pada buku yang penulisnya mempunyai sanad guru hingga Nabi saw.

Maka bila misalnya kita menemukan ucapan Imam Syafii, dan Imam Syafii tak sebutkan
dalilnya, apakah kita mendustakannya? Cukuplah sosok Imam Syafii yang demikian mulia
dan tinggi pemahaman Ilmu Syariahnya, lalu ucapan fatwa – fatwanya itu diteliti dan dilewati oleh ratusan murid – muridnya dan ratusan Imam dan Al Hafidh dan Hujjatul Islam sesudah beliau, maka itu sebagai dalil atas jawabannya bahwa ia mustahil mengada ada dan membuat - buat hukum semaunya, jika ia salah dalam fatwanya mestilah sudah diperbaiki dan dibenahi oleh ratusan imam sesudahnya.

Maka muncullah dimasa kini pendapat pendapat dari beberapa saudara kita yang membaca
satu, dua buku, lalu berfatwa bahwa ucapan Imam Syafii Dhoif, ucapan Imam Hakim dhoif, hadits ini munkar, hadits itu palsu, hadits ini batil, hadits itu mardud atau berfatwa dengan semaunya dan fatwa – fatwa mereka itu tak ada para Imam dan Muhaddits yang menelusurinya sebagaimana Imam – imam terdahulu yang bila fatwanya salah maka sudah diluruskan oleh Imam – Imam berikutnya, sebagaimana berkata Imam Syafii : “Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu” (Faidhul Qadir juz 1 hal 433).

Berkata pula Imam Atsauri : “Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak
punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?”, berkata pula Imam Ibnul
Mubarak : “Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya
tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad” (Faidhul Qadir juz
1 hal 433).

Semakin dangkal ilmu seseorang, maka tentunya ia semakin mudah berfatwa dan
menghukumi, semakin ahli dan tingginya ilmu seseorang, maka semakin ia berhati - hati dalam berfatwa dan tidak ceroboh dalam menghukumi.Maka fahamlah kita, bahwa mereka - mereka yang segera menafikan atau menghapus hadits dhoif maka mereka itulah yang dangkal pemahaman haditsnya, mereka tak tahu mana hadits dhoif yang palsu dan mana hadits dhoif yang masih tsiqah untuk diamalkan. Contohnya hadits dhoif yang periwayatnya maqthu’ (terputus), maka dihukumi dhoif, tapi makna haditsnya misalnya keutamaan suatu amal, maka para Muhaddits akan melihat para perawinya, bila para perawinya orang - orang yang shahih, tsiqah, apalagi ulama hadits, maka hadits itu diterima walau tetap dhoif, namun boleh diamalkan karena perawinya orang – orang terpercaya, cuma satu saja yang hilang, dan yang lainnya diakui kejujurannya, maka
mustahil mereka dusta atas hadits Rasul saw. Namun tetap dihukumi dhoif dan paling tidak ia adalah amalan para sahabat, yang tentu mereka tak punya guru lain selain Rasulullah saw, dan masih banyak lagi contoh – contoh lainnya.

Masya Allah dari gelapnya kebodohan.. sebagaimana ucapan para ulama salaf : “dalam
kebodohan itu adalah kematian sebelum kematian, dan tubuh mereka telah terkubur
(oleh dosa dan kebodohan) sebelum dikuburkan”. (walillahittaufiq)

Read More..

At - Thoyyibah

They lie on the table side by side

The Holy Quran and the T.V. Guide.

One is well worn and cherished with pride.

Not the Quran, but the T.V. Guide.

One is used daily to help folks decide.

Not the Quran, but the T.V. Guide.

As the pages are turned, what shall they see?

Oh, what does it matter, turn on the T.V.

So they open the book in which they confide.

No, not the Quran, but the T.V. Guide.

The Word of Allah is seldom read.

Maybe a verse before they fall into bed.

Exhausted and sleepy and tired as can be.

Not from reading the Quran, from watching T.V.

So then back to the table side by side,

Lie the Holy Quran and the T.V. Guide.

No time for prayer, no time for the Word,

The plan of Istiqama is seldom heard.

But forgiveness of sin, so full and free,

Is found in the Quran, not on T.V.

Take 60 seconds & give this a shot! Let's just see

if Satan stops this one.

All you do is -

1) say:

A- Subhan Allah

B- Alhamdolila

C- Allaho Akbar

D- La ilaha ila Allah Mohammed rasool Allah

E- Allahoma sali aala sayidna Mohammed wa ala alihi

Wasahbihi wasal'um

Read More..

Tujuh Golongan Yang Dinaungi Allah SWT di Hari Kiamat

قَالَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ، فِي ظِلِّهِ، يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ، الْإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ، وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ، اجْتَمَعَا عَلَيْهِ، وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ، وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ، وَجَمَالٍ، فَقَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى، حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا، فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ.

(صحيح البخاري)

Sabda Rasulullah saw : “Tujuh Golongan yg dinaungi Allah dihari kiamat yg tiada tempat berteduh selain yg diizinkan Nya swt, Pemimpin yg Adil, dan pemuda yg tumbuh dengan beribadah pd Tuhannya, dan orang yg mencintai masjid masjid, dan dua orang yg saling menyayangi karena Allah, bersatu karena Allah dan berpisah karena Allah, dan orang yg diajak berbuat hina oleh wanita cantik dan kaya namun ia berkata : Aku Takut pd Allah, dan pria yg sedekah dg sembunyi2, dan orang yg ketika mengingat Allah dalam kesendirian berlinang airmatanya” (Shahih Bukhari)

Read More..

Siapakah Khidhir?



Ketika kita membaca kisah-kisah para wali, kita sering mendengar sosok yang bernama Khidhir. Sebenarnya siapakah beliau, apakah beliau masih hidup hingga sekarang atau sudah meninggal?

Al-Qur'an mengisahkan tentang seorang hamba Allah SWT pada masa Nabi Musa AS yang mempunyai derajat sangat tinggi di sisi-Nya. Kisah itu disebutkan dalam surat al-Kahfi, ayat 65: "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." Para ahli tafsir mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hamba pada ayat tersebut ialah Khidhir AS. Kemudian yang dimaksud dengan rahmat ialah wahyu dan kenabian. Sedangkan yang dimaksud dengan ilmu, ialah ilmu tentang hal-hal yang ghaib. Hadits-hadits Nabi SAW juga menceritakan seorang hamba yang shalih ini.[1] Menurut Imam Nawawi kita boleh menyebut Khadhir (dengan membaca fathah kha' dan kasrah dlad), Khidhr (dengan membaca kasrah kha' dan dlad yang dibaca sukun) atau Khadhr (dengan membaca fathah kha' dan dlad yang dibaca sukun).[2] Namun nampaknya masyarakat kita lebih akrab menyebutnya Khidhr atau Khidhir. Maka dari itu, dalam tulisan ini kami menggunakan sebutan yang terakhir ini.

al-Imam Kamaluddin al-Damiri (w. 808 H) dalam ensiklopedinya yang berjudul Hayat al-Hayawan al-Kubra menuturkan tentang perbedaan para ulama mengenai nama Khidhir. Namun menurut pendapat yang ashah, sebagaimana dinukil dari para ahli sejarah dan juga dari Nabi SAW, sebagaimana yang kutip oleh Imam al-Baghawi dan ulama lainnya berpendapat bahwa nama nabi Khidhir adalah Balya. Sedangkan ayahnya bernama Malkan. Nabi Khidhir termasuk keturunan Bani Israil dan masih keturunan para raja. Beliau lari dari kerajaan, kemudian pergi dan menyibukkan diri dalam ibadah.

Para ulama berselisih pendapat tentang apakah sampai sekarang Nabi Khidhir masih hidup ataupun sudah meninggal. Imam nawawi dan mayoritas ulama berpendapat bahwa beliau masih hidup dan berada di tengah-tengah kita sekarang. Pendapat ini disepakati oleh para tokoh sufiyah dan para ahli makrifat. Kabar yang mengisahkan tentang seseorang yang dapat berjumpa dan berkumpul dengan Nabi Khidhir sangat banyak. Al-Syeikh Abu 'Amr bin Shalah mengatakan bahwa nabi Khidhir masih hidup menurut mayoritas ulama, shalihin dan orang-orang awam pada umumnya. Hanya saja ada sebagian ahli hadits yang mengingkari terhadap kehidupan Nabi Khidhir ini.

Sementara itu Imam al-Hasan berpendapat bahwa Nabi Khidhir telah meninggal. Imam Ibnu al-Manawi mengatakan bahwa tidak ada hadits yang menetapkan tentang hidupnya Nabi Khidhir AS. Menurut Imam Abi Bakar bin al-Arabi, beliau telah meninggal sebelum tahun seratus. Pendapat ini mendekati jawaban Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhari ketika beliau ditanya tentang Khaidhir dan Ilyas, apakah keduanya masih hidup? Maka beliau menjawab: "Bagaimana bisa demikian (masih hidup), Rasulullah SAW telah bersabda: "Tidak ada seorangpun yang masih hidup pada hari ini seratus tahun lagi." Pendapat yang benar adalah beliau masih hidup.

Sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi Khidhir bernah berkumpul dengan Rasulullah SAW, mengunjungi keluarga beliau, dan mereka memandikan Nabi SAW ketika wafat. Riwayat-riwayat yang menceritakan hal itu berasal dari jalur-jalur yang shahih. Dalam tafsirnya, Imam al-Qurthubi juga membenarkan tentang hidupnya Nabi Khidhir AS.[3]

Lebih lanjut al-Imam al-Nawawi dalam kitabnya Tahdzib al-Asma' yang menukil pendapat Wahb bin Munabbih menuturkan, bahwa nama Khidhir sebenarnya merupakan laqab (julukan), sedangkan nama asli beliau adalah Balya bin Malkan bin Faligh bin 'Abir bin Syalikh bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh. Para ulama berbeda pendapat tetang alasan mengapa beliau disebut Khidhir. Mayoritas ulama mengatakan bahwa beliau disebut Khidhir karena sesungguhnya ketika beliau duduk di atas permukaan tanah yang kering (menurut pendapat lain rerumputan kering), maka dari permukaan tanah itu tumbuh rerumputan yang berwarna hijau. Pendapat ini di dasarkan pada sabda Nabi SAW: "Dinamakan Khidhir karena ia duduk di atas tanah yang kering, kemudian dari bawah tanah itu tumbuh rerumputan yang hijau." [H.R. Bukhari, no. 3221]. Menurut pendapat yang dinukil dari Imam Mujahid mengatakan, karena ketika beliau shalat, disekitar beliau menjadi hijau (muncul tumbuh-tumbuhan).[4] Sedangkan menurut Imam al-Khuthabi, beliau dinamakan Khidhir karena ketampanannya dan wajahnya yang bersinar.[5]

Nabi Khidhir mempunyai kuniyah Abu al-Abbas dan merupakan sahabat Nabi Musa AS. Allah SWT telah memuji sosok Khidhir ini melalui firman-Nya: "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." [Q.S. al-Kahfi: 65]. Kemudian pada ayat-ayat berikutnya Allah SWT menceritakan keajaiban-keajaiban yang dimiliki oleh Nabi Khidhir AS.

Para ulama juga berbeda pendapat mengenai Khidhir, apakan ia seorang nabi atau seorang wali. Imam al-Qusyairi dan para ulama yang lain mengatakan bahwa Khidhir adalah seorang wali. Sementara itu sebagian ulama mengatakan bahwa Khidhir adalah seorang nabi. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam al-Nawawi. Imam al-Maziri mengatakan bahwa mayoritas ulama berpendapat Khidhir adalah seorang nabi. Ada pendapat lain yang mengatakan beliau adalah seorang malaikat, namun pendapat ini oleh para ulama dinilai sebagai pendapat yang gharib (asing), lemah dan bathil.[6] Para ulama yang berpendapat bahwa beliau seorang nabi, juga masih berbeda pendapat, apakah beliau diutus untuk umat manusia atau tidak? Yang jelas mengenai nama, kehidupan dan kenabian Khidhir AS terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Keterangan yang pasti dalam al-Qur'an mengatakan bahwa Khidhir adalah salah seorang hamba Allah SWT yang dikaruniai rahmat dan ilmu dari sisi-Nya. Penyebutan hamba pada ayat tersebut bisa berarti beliau seorang nabi ataupun seorang laki-laki yang shalih (wali). Keterangan yang pasti dalam hadits menyebutkan bahwa hamba itu bernama Khaidhir. Sementara itu dalam al-Qur'an maupun al-Hadits tidak ada keterangan yang jelas mengenai keberadaan Khidhir, apakah beliau telah meninggal, masih hidup hingga sekarang, bertemu dengan para nabi dan para wali atau beliau mengucapkan salam pada sebagian orang, kemudian mereka menjawab salamnya? Semua itu tidak ada dalil yang dapat digunakan sebagai pijakan secara pasti.[7]

Namun setidaknya kita lebih tenang dan yakin dengan berita-berita yang disampaikan oleh para wali Allah tentang hidupnya Nabi Khidhir, mengunjungi mereka dan mengucapkan salam kepada mereka. Wallahu a'lam.


[1] Syeikh Athiyah Shaqar dalam Fatawa al-Azhar, 10/425.

[2] Al-Nawawi, Tahdzib al-Asma' wa al-Lughat, 1/237.

[3] Syeikh Athiyah Shaqar dalam Fatawa al-Azhar, 10/425.

[4] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, 6/433.

[5] Badruddin al-Aini, Umdat al-Qari, 3/30.

[6] Al-Nawawi, Tahdzib al-Asma' wa al-Lughat, 1/237-239.

[7] Ibid.

Read More..

Doa Hambah

Sebelum kain kafan melilit ditubuhku
Pungkasilah umurku dengan menyebut asma-Mu....

Jadikan liang lahadku seindah taman syurgawi
Tiada kesusahan dan kesedihan...

Tempatkanlah aku di dalam surga-Mu yang Mulia
di sisi kekasih-Mu yang terpilih...

Shalawat dan Salam semoga selalu tercurah kepadanya
Istri-istri, Shahabat dan orang-orang yang mengikutinya...


Read More..

Side by Side

They lie on the table side by side

The Holy Quran and the T.V. Guide.

One is well worn and cherished with pride.

Not the Quran, but the T.V. Guide.

One is used daily to help folks decide.

Not the Quran, but the T.V. Guide.

As the pages are turned, what shall they see?

Oh, what does it matter, turn on the T.V.

So they open the book in which they confide.

No, not the Quran, but the T.V. Guide.

The Word of Allah is seldom read.

Maybe a verse before they fall into bed.

Exhausted and sleepy and tired as can be.

Not from reading the Quran, from watching T.V.

So then back to the table side by side,

Lie the Holy Quran and the T.V. Guide.

No time for prayer, no time for the Word,

The plan of Istiqama is seldom heard.

But forgiveness of sin, so full and free,

Is found in the Quran, not on T.V.

Take 60 seconds & give this a shot! Let's just see

if Satan stops this one.

All you do is -

1) say:

A- Subhan Allah

B- Alhamdolila

C- Allaho Akbar

D- La ilaha ila Allah Mohammed rasool Allah

E- Allahoma sali aala sayidna Mohammed wa ala alihi

Wasahbihi wasallam.

Read More..

Ganja dan Sufi

Asmat, baru saja bertobat. Ia mulai menyadari masa lalunya dengan narkoba menyesatkan dirinya. Ketika mulai masuk dunia Sufi, Asmat justru kembali ke narkoba lagi. “Kamu kok begitu sih Mat? ”tegur kawannya, Darwis.
“Saya lakukan eksperimen, siapa tahu saya berdzikir sambil mengganja, tambah uueeenak, melayang dzikirku…”
“Kamu memang sudah edan makan semir Mat…”
“Coba Wis, kamu coba. Nganja sambil dzikir pasti enak tenan…”
Darwis nggak habis pikir pandangan Asmat yang kontroversial ini.
“Kamu sudah ghurur Mat. Kamu terkena tipudaya…?”
“Bagaimana kamu bilang begitu. Kan banyak orang berdzikir yang dicari nikmatnya dzikir, bahkan kalau perlu bisa nangis-nangis segala…”
“Lhahadala…Itu to yang membuatmu begitu…”
“Jelaskan?”

“Dzikir itu tujuannya agar bertemu Allah, Musyahadah kepada Allah, hadir di depan Allah. Bukan mencari nikmatnya dzikir atau…. Bisa-bisa kamu melayang nggak karuan campur syetan nanti…”
“Campur syetan bagaimana Wis?”
“Kamu nge-ganja, pasti kamu mengkhayal. Sedangkan hatimu tidak ingin sama sekali bersenang-senang dengan kenikmatan khalamu, hatimu hanya sedang mengingat Allah, bagaimana bisa nyampe pada Allah, kalau yang kau unggulkan, kau senangi selera nafsumu?”
Asmat bengong lagi….

“Sudah begini saja, teruskan nge-ganjamu. Apa kamu nanti bisa bertemu Allah atau bertemu syetan…Coba! Nanti kalau kamu dicabut nyawamu saat kamu nge-ganja sambil dzikir, kamu husnul khotimah apa su’ul khotimah, saya nggak mau ikut-ikut akh…”
Asmat lalu menyedot sekuat-kuatnya ganja yang di tangannya. Semakin lama ia mengkhayal semakin bergentar jantungnya, semakin gelisah dan gundah jiwanya. Diam-diam ia bisa membedakan mana hasrat nafsu dibalik ibadah, hasrat nafsu dengan kemanjaan dan khayalan, dan hasrat hati yang sesungguhnya.
“Wiisss…! Darwiiiiiiiisss! Kamu dimana Wis!...”
Asmat berteriak sekencang-kencangnya.
“Aku sejak tadi disini Mat. Di dekatmu….”
Asmat terkejut dan mulai menangis sesenggukan.

Read More..