Ibnu Athaillah as-Sakandary mengingatkan, “Janganlah bersahabat atau berguru kepada orang yang perilaku jiwanya dan wacananya tidak membangkit dirimu menuju kepada Allah Ta’ala.”
Bergabunglah dengan sahabat-sahabat yang ada berkas-berkas cahaya Allah di dadanya. Ikuti pengajian kita yang ada di jadwal majalah ini.
Nah secara spesifik, Al-Qusyairy membagi persahabatan sejati: Persahabatan itu ada tiga macam:
Bergabunglah dengan sahabat-sahabat yang ada berkas-berkas cahaya Allah di dadanya. Ikuti pengajian kita yang ada di jadwal majalah ini.
Nah secara spesifik, Al-Qusyairy membagi persahabatan sejati: Persahabatan itu ada tiga macam:
- Bersahabat dengan orang yang lebih atas dari Anda. Persahabatan ini pada hakikatnya lebih sebagai rasa bakti.
- Bersahabat dengan orang yang ada di bawah Anda. Persahabatan ini menuntut agar Anda bersikap peduli dan kasih sayang. Sementara yang mengikuti Anda harus selalu serasi dan bersikap hormat.
- Bersahabat dengan mereka yang memiliki kemampuan dan pandangan ruhani. Yaitu suatu persahabatan yang menuntut sikap, memprioritaskan sepenuhnya kepada sahabatnya itu.
Siapa yang bersahabat pada Syeikh yang memiliki derajat lebih daripada dirinya, etikanya ia harus meninggalkan sikap kontra, bersikap ramah dan respektif kepadanya, dan mempertemukan diri dengan ihwal ruhaninya melalui iman.
Di bawah ini sekadar ilustrasi bagaimana relasi, persahabatan, dan hubungan antara guru dan murid, serta kasih sayang mereka.
Saya mendengar Manshur bin Khalaf al-Maghriby berkata, ketika ditanya oleh sebagian. murid-murid kami, “Berapa tahun Anda bersahabat kepada Sa’id bin Salam al-Maghriby?” Beliau melihat dengan tajam kepada penanya, sembari berkata, “Aku tak pernah bersahabat dengannya, tetapi aku berbakti padanya beberapa waktu.”
Apabila orang yang menyahabati Anda adalah orang yang berada di bawah Anda, maka, suatu pengkhianatan dalam hak persahabatannya adalah ketika Anda tidak memperingatkannya atas kekurangan perilakunya.
Abul Khair at-Tinaty menulis surat kepada Ja’far bin Muhammad bin Nashr, “Dosa kebodohan para sufi ditimpakan kepada Anda, karena Anda sibuk dengan diri Anda sendiri, meninggalkan upaya mendidik mereka, sehingga mereka tetap bodoh. Namun, apabila orang yang bersahabat dengan Anda memiliki status yang sama, Anda harus menjaga cacatnya. Dan lebih bersikap bijak dan baik semaksimal mungkin, dengan menafsirkan yang lebih berkenan atas tindakannya. Bila tidak ada penafsiran positif lebih baik Anda menyangka diri Anda telah berbohong dan berhak mendapat celaan.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata, “Ahmad bin Abul Hawary berkata, Aku bicara pada Abu Sulaiman ad-Darany, “Ada seseorang yang tidak berkenan di hatiku.” Lantas Abu Sulaiman menjawab, ‘Sama, ia juga tak berkenan di hatiku. Tetapi, wahai Ahmad, barangkali generasi sebelum kita dulu menganggap kita bukan tergolong orang-orang yang saleh, lalu apakah kita tidak mencintai mereka?”
Dikisahkan bahwa ada seseorang yang bersahabat pada Ibrahim bin Adham. Ketika orang tersebut mau berpisah, berkata pada Ibrahim, “Bila engkau melihat diriku ada cacat, maka. ingatkanlah diriku.” Ibrahim menjawab, ‘Aku tak pernah melihat cacatmu, karena aku melihatmu dengan mata kecintaan, sehingga aku selalu memandangmu dengan mata pandangan kebaikan. Tanyakan saja pada selain diriku tentang cacatmu.”
Di bawah ini sekadar ilustrasi bagaimana relasi, persahabatan, dan hubungan antara guru dan murid, serta kasih sayang mereka.
Saya mendengar Manshur bin Khalaf al-Maghriby berkata, ketika ditanya oleh sebagian. murid-murid kami, “Berapa tahun Anda bersahabat kepada Sa’id bin Salam al-Maghriby?” Beliau melihat dengan tajam kepada penanya, sembari berkata, “Aku tak pernah bersahabat dengannya, tetapi aku berbakti padanya beberapa waktu.”
Apabila orang yang menyahabati Anda adalah orang yang berada di bawah Anda, maka, suatu pengkhianatan dalam hak persahabatannya adalah ketika Anda tidak memperingatkannya atas kekurangan perilakunya.
Abul Khair at-Tinaty menulis surat kepada Ja’far bin Muhammad bin Nashr, “Dosa kebodohan para sufi ditimpakan kepada Anda, karena Anda sibuk dengan diri Anda sendiri, meninggalkan upaya mendidik mereka, sehingga mereka tetap bodoh. Namun, apabila orang yang bersahabat dengan Anda memiliki status yang sama, Anda harus menjaga cacatnya. Dan lebih bersikap bijak dan baik semaksimal mungkin, dengan menafsirkan yang lebih berkenan atas tindakannya. Bila tidak ada penafsiran positif lebih baik Anda menyangka diri Anda telah berbohong dan berhak mendapat celaan.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata, “Ahmad bin Abul Hawary berkata, Aku bicara pada Abu Sulaiman ad-Darany, “Ada seseorang yang tidak berkenan di hatiku.” Lantas Abu Sulaiman menjawab, ‘Sama, ia juga tak berkenan di hatiku. Tetapi, wahai Ahmad, barangkali generasi sebelum kita dulu menganggap kita bukan tergolong orang-orang yang saleh, lalu apakah kita tidak mencintai mereka?”
Dikisahkan bahwa ada seseorang yang bersahabat pada Ibrahim bin Adham. Ketika orang tersebut mau berpisah, berkata pada Ibrahim, “Bila engkau melihat diriku ada cacat, maka. ingatkanlah diriku.” Ibrahim menjawab, ‘Aku tak pernah melihat cacatmu, karena aku melihatmu dengan mata kecintaan, sehingga aku selalu memandangmu dengan mata pandangan kebaikan. Tanyakan saja pada selain diriku tentang cacatmu.”
No comments:
Post a Comment