Karena rahmat Allah itu sungguh dekat kepada orang-orang yang baik (muhsinîn) (Q.S. al-A’râf [7]: 56).
Siapa pun yang menyerahkan dirinya kepada Allah sepenuhnya dan ia dalam keadaan ihsân ……… kepada Allahlah segala sesuatu akan kembali (31:21)
Ayat-ayat tentang keadaan ihsân ini begitu banyak, tetapi beberapa ayat yang telah dikutip sudah mencukupi sebagai bukti. Makna dari ihsân, sebagaimana Nabi saw. mendefinisikannya, adalah beribadah dengan penuh kerendahan hati dan kehadiran hati (khudhû’ dan khusyu’) seolah-olah kita sedang melihat Allah dan sadar bahwa Dia melihat kita.
Al-Jurjani (w. 816H), dalam Kitâb al-Ta`rîfât-nya mengatakan:
Al-Ihsân: kata benda verbal (mashdar) yang menunjuk pada apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang dengan cara yang sebaik-baiknya. Dalam syariah, kata ini berarti beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat Dia, dan apabila kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihat kamu. Makna ini merupakan pencapaian sejati dari ibadah seorang hamba yang didasarkan pada penyaksian hakikat ketuhanan dengan cahaya penglihatan spiritual (al-tahaqquq bi al-`ubûdiyyah `alâ musyâhadati hadhrat al-rubûbiyyat bi nûr al-bashîrah). Yakni: penyaksian Allah sebagaimana Dia digambarkan dengan sifat-sifat-Nya dan melalui sifat-sifat-Nya itulah seseorang akan menyaksikan-Nya dengan keyakinan, bukan secara maknawi (fa huwa yarâhu yaqînan walâ yarâhu haqîqatan). Itulah sebabnya mengapa Nabi saw. mengatakan, “Seolah-olah kamu sedang melihatnya,” karena seseorang menyaksikan-Nya dari balik hijab sifat-sifat-Nya.3
Dalam kamus, kata ihsân dan kata bentukannya memiliki beberapa makna berikut:
Hasuna: “menjadi, tampak, menjadikan sempurna, indah, bagus”
Ihsânan: “(berbuat secara) sempurna”
Ahsana: “ia melakukan suatu kebaikan yang besar”
Ihsân: “kebaikan”
Husnâ: “hadiah” atau “balasan baik”
Hasan: “sempurna, indah, bagus”
Hisânun: “sesuatu yang indah sempurna”
“Menjadi indah” dalam makna yang pertama berarti menghiasi diri dengan sifat-sifat yang baik, untuk memperelok diri secara batin dan lahir. Apabila digunakan sebagai kata sifat, maka kata ini berarti kebaikan sebagai suatu ciri atau sikap batin dan juga kesabaran atau ketenangan.
Mulai sekarang akan semakin jelaslah bahwa keadaan ihsân yang disebutkan di dalam Alquran itu merupakan suatu keadaan yang sangat tinggi, yang ditunjukkan oleh malaikat Jibril sebagai bagian hakiki dari agama, dan dia meletakkannya pada tingkatan yang sama dengan keadaan islam (ketundukkan) dan iman (kepercayaan). Agama terdiri dari tiga keadaan: islam, iman dan ihsan, yang masing-masing memiliki definisinya sendiri-sendiri. Itulah sebabnya, mengapa di dalam Alquran hal ini disebutkan pada banyak sekali tempat, dan mengapa Nabi saw., ketika ditanya oleh Jibril mengenai ihsan, memberikan penekanan yang sama pentingnya dengan islam dan iman.
Karena sesungguhnya Allah itu bersama orang-orang yang taqwa dan orang-orang yang baik (Q.S. al-Isrâ’ [16]: 128)
Adakah lagi balasan bagi kebaikan (ihsan) selain dari Kebaikan? (Q.S. al-Rahmân [55]: 60)
Dan Ia membalas mereka yang berbuat baik dengan apa yang lebih baik (53:31)
Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil, berbuat baik (ihsân), dan memberi kepada kerabat, dan Ia melarang perbuatan keji dan buruk dan berlaku zalim; Ia mengajari kalian agar kalian menjadi ingat. (Q.S. al-Isrâ’ [16]: 90)
Tidak, siapa saja yang menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah dan ia seorang yang muhsin (yang melakukan ihsân), ia mendapatkan balasannya di sisi Tuhannya, kepada mereka tidak ada rasa takut juga mereka tidak akan bersedih (Q.S. al-Baqarah [2]: 112).
Siapa pun yang menyerahkan dirinya kepada Allah sepenuhnya dan ia dalam keadaan ihsân ……… kepada Allahlah segala sesuatu akan kembali (31:21)
Siapa lagi yang dapat lebih baik dalam agama daripada orang berserah diri kepada Allah sepenuh dirinya dan melakukan kebaikan dengan cara yang Allah sukai … (4:125)
Inilah makna dari keseluruhan ilmu tasawuf. Mereka yang menentangnya, silakan saja mengubah istilah ini apabila sesuai dengan keinginannya, karena istilah apa pun tidak akan mengubah sifat dasar atau hakikat fundamental dari sesuatu. Sebagaimana peribahasa mengatakan, “bunga ros dengan nama lain apa pun akan tetap harum baunya.”[]
Catatan:
1. Ibnu Qayyîm, Raudhat al-Muhibbîn wa Nuzhat al-Musytâqîn, (Beirut: Dar al-kutub al-‘ilmiyyah, 1983) h.406-409.
2. Pandangan al-Ghazâlî disebutkan di dalam The Reliance of the Traveller, h.12. Untuk Suyuti, lihat di bawah, Bab 4: Perkataan dan Tulisan Para Imam dan Ulama.
3. Al-Syarîf ‘Alî Ibn Muhammad al-Jurjani, Kitâb al-ta`rîfât (Beirut: Dar al-kutub al-ilmiyyah, 1408/1988) h. 12
Sufi Road
No comments:
Post a Comment