Oleh Syeikh Abu Nashr as-SarrajAl-Junaid rahimahullah berkata:
“Kefakiran adalah lautan bala’ (bencana). Sementara seluruh bencananya adalah kemuliaan.”
Al-Junaid rahimahullah juga berkata:
“Jika ilmu seorang fakir menguat maka cinta (mahabbah)nya akan melemah. Dan jika ilmunya melemah maka cintanya akan menguat. Sedangkan kebijakan hukum seorang fakir seharusnya ilmunya berada di atas cintanya.”
Saya mendengar ad-Duqqi - rahimahullah - yang saat itu berada di Damaskus, berkata: Saya mendengar Abu Bakar azZaqqaq-rahimahullah - di Mesir berkata, “Selama empat puluh tahun saya berteman dengan orang-orang fakir. Saya bergaul dengan mereka, tapi saya tidak pernah melihat satu pemandangan pun yang lebih sejuk dari keadaan mereka yang saling mencintai antara satu dengan yang lain.
Maka barangsiapa tidak memiliki taqwa dan wara` (jaga diri dari syubhat) dalam hal ini jelas la akan makan barang yang mesti haram.”
Dikisahkan dari Abu Abdillah al Jalla’ - rahimahullah -yang berkata, “Barangsiapa dalam kefakirannya tidak dibarengi dengan wara`, tentu la akan makan barang haram murni, sedangkan ia tidak menyadarinya.”
Dikisahkan dari Sahl bin Abdullah - rahimahullah - yang berkata, “Adab seorang fakir yang jujur dalam kefakirannya ada tiga: Tidak meminta di kala la membutuhkan, tidak menolak jika diberi dan tidak menyimpan untuk waktu berikutnya ketika ia mengambil.”
Sebagian kaum Sufi berkata, “Adab seorang fakir yang jujur ada tiga: Tidak meminta, tidak membantah dan jika dibantah akan diam.”
Dikisahkan dari Sahl bin Abdullah - rahimahullah - yang berkata, “Seorang fakir memiliki tiga kewajiban: Menjaga rahasia hatinya, menunaikan apa yang diwajibkan kepadanya dan menjaga kefakirannya.”
A1 Junaid - rahimahullah - berkata, “Segala sesuatu akan sanggup dilakukan oleh seorang fakir kecuali kesabarannya atas waktu hingga habis masanya.”
Ibrahim al-Khawwash - rahmahullah - berkata, `Ada dua belas sifat yang menjadi ciri seorang fakir (yakni para kaum Sufi), balk ketika sedang di rumah maupun ketika sedang bepergian:
- Hendaknya la selalu merasa yakin dan tenang (thuma’ninah) dengan apayang Allah janjikan;
- Hendaknya tidakberharap pada makhluk;
- Menyatakan perang dan melawan terhadap setan;
- Selalu mendengar perintah Allah;
- Memiliki rasa sayang kepada semua makhluk;
- Sanggup memikul dan bersabar atas semua tindakan makhluk yang menyakitkan dirinya;
- Tidak meninggalkan nasihat untuk semua umat Islam;
- Hendaknya selalu berendah hati dalam masalah kebenaran;
- Selalu sibuk dalam ma’rifat Allah;
- Untuk selamanya dalam kondisi suci;
- Kefakirannya hendaknya menjadi modal utama; dan
- Selalu rela (ridha) terhadap apa yang datang dari Allah; sedikit atau banyak, disukai atau tidak. Semuanya adalah satu, yakni dari Allah. Mereka harus ridha kepada-Nya, bersyukur dan percaya kepada-Nya.”
Sebagian kaum Sufi berkata, “Barangsiapa meminta kefakiran karena ingin memperoleh pahala kefakiran, maka la akan mati dalam kondisi fakir.”
Sebagian kaum Sufi yang lain berkata, “Seorang fakir, apabila banyak akal maka perilaku baiknya akan hilang.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahTmahullah - berkata:
Di antara adab para fakir Sufi dalam menyikapi apa yang diberikan Allah kepada mereka dengan tanpa terlebih dahulu meminta dan berharap hendaknya tidak mengucapkan, “Ini milikku, dan ini milik Anda.” Sementara dalam pembicaraan mereka tidak boleh ada kata-kata, “Aku adalah untuk Anda, sementara Anda bukan untukku. Aku berbuat demikian semoga menjadi demikian. Aku tidak melakukan demikian, semoga demikian.”
Dikisahkan dari Ibrahim bin Syaiban - rahmahullah -yang berkata, “Kami tidak pernah bersahabat dengan orang yang mengatakan, `Ini adalah sandalku dan tempat minumku’.”
Abu Abdillah Ahmad al-Qalanisi-dimana la adalah guru al-Junaid - berkata, `Aku pernah mendatangi sekelompok orangorang fakir di Basrah. Kemudian mereka menghormati dan mengagungkanku. Suatu saat aku pernah mengatakan kepada salah seorang di antara mereka, `Dimana sarungku?’ Maka sejak saat itu aku jatuh dan rendah dalam pandangan mereka.”
Abu Ishaq Ibrahim bin al-Muwallad ar-Raqqi berkata, “Saya pernah masuk di Tharasus. Kemudian dikatakan kepadaku, `Di sini ada sekelompok orang dari saudara-saudara Anda yang berkumpul di suatu rumah.’ Kemudian saya masuk menemui mereka, dan saya melihat ada tujuh belas orang fakir yang sehati.”
Dikatakan kepada Abu Abdillah Ahmad al-Qalanisi - rahimahullah, “Atas dasar apa Anda membangun madzhab Anda?” Kemudian la menjawab, `Atas dasar tiga perkara:
- Kami tidak pernah menuntut manusia atas hak-hak kami;
- Kami menuntut diri kami sendiri untuk menunaikan hak-hak orang lain; dan
- Memastikan diri kami berbuat kealpaan terhadap semua yang kami lakukan.”
Sebagian kaum Sufi berkata, “Kami membangun landasan dasar madzhab kami atas tiga perkara:
- Selalu mengikuti perintah dan menjauhi larangan;
- Memeluk erat kefakiran; dan
- Belas-kasih pada semua makhluk.”
Sementara kaum Sufi yang lain berkata, “Jika Anda melihat seorang fakir telah merosot dari tingkatan hakikat menuju ke tingkatan ilmu (syariat), maka Anda perlu tahu, bahwa ia telah menghapus keinginan kuatnya dan melepas tali pengikatnya.” Ibrahim al-Khawwash - rahimahullah - berkata, “Bukan termasuk adab kaum fakir (kaum Sufi) orang yang masih memiliki sebab (sarana) yang akan dirujuknya kembali ketika la membutuhkannya, atau memiliki dua tangan untuk melakukan suatu pekerjaan tatkala ia menghendaki, atau lisan yang ia jadikan alat meminta tatkala la lapar, atau keinginan kuat yang la akan pergi kepada orang lain ketika dalam kondisi kesulitan. Dimana semua ini bagi mereka merupakan sarana dan simpanan ketika dalam kondisi krisis dan sarana yang bisa memberi.”
Al Junaid - rahimahullah - berkata, “Jika Anda berjumpa dengan orang fakir maka sambutlah dengan penuh kasih, dan jangan sambut la dengan ilmu. Sebab kelembutan cdan kasih sayang akan penghiburnya, sedangkan ilmu akan membuat gelisah.” (SN)
No comments:
Post a Comment