Bahkan sang pemuda tadi malah punya catatan amal baiknya selama ini dalam buku hariannya, dari hari ke hari. “Saya kira sudah cukup bagus apa yang saya lakukan Tuan…” “Apa yang sudah anda lakukan?” “Amal ibadah bekal bagi syurga saya nanti…” “Kapan anda menciptakan amal ibadah, kok anda merasa punya?” Pemuda itu diam…lalu berkata, “Bukankah semua itu hasil jerih payah saya sesuai dengan perintah dan larangan Allah?” “Siapa yang menggerakkan jerih payah dan usahamu itu?” “Saya sendiri…hmmm….” “Jadi kamu mau masuk syurga sendiri dengan amal-amalmu itu?” “Jelas dong tuan…” “Saya nggak jamin kamu bisa masuk ke syurga. Kalau toh masuk kamu malah akan tersesat disana…” Pemuda itu terkejut bukan main atas ungkapan Sang Sufi. Pemuda itu antara marah dan diam, ingin sekali menampar muka sang sufi. “Mana mungkin di syurga ada yang tersesat. Jangan-jangan tuan ini ikut aliran sesat…” kata pemuda itu menuding Sang Sufi. “Kamu benar. Tapi sesat bagi syetan, petunjuk bagi saya….” “Toloong diperjelas…” “Begini saja, seluruh amalmu itu seandainya ditolak oleh Allah bagaimana?” “Lho kenapa?” “Siapa tahu anda tidak ikhlas dalam menjalankan amal anda?” “Saya ikhlas kok, sungguh ikhlas. Bahkan setiap keikhlasan saya masih saya ingat semua…” “Nah, mana mungkin ada orang yang ikhlas, kalau masih mengingat-ingat amal baiknya? Mana mungkin anda ikhlas kalau anda masih mengandalkan amal ibadah anda? Mana mungkin anda ikhlas kalau anda sudah merasa puas dengan amal anda sekarang ini?” Pemuda itu duduk lunglai seperti mengalami anti klimaks, pikirannya melayang membayang bagaimana soal tersesat di syurga, soal amal yang tidak diterima, soal ikhlas dan tidak ikhlas. Dalam kondisi setengah frustrasi, Sang sufi menepuk pundaknya. “Hai anak muda. Jangan kecewa, jangan putus asa. Kamu cukup istighfar saja. Kalau kamu berambisi masuk syurga itu baik pula. Tapi, kalau kamu tidak bertemu dengan Sang Tuan Pemilik dan Pencipta syurga bagaimana? Kan sama dengan orang masuk rumah orang, lalu anda tidak berjumpa dengan tuan rumah, apakah anda seperti orang linglung atau orang yang bahagia?” “Saya harus bagaimana tuan…” “Mulailah menuju Sang Pencipta syurga, maka seluruh nikmatnya akan diberikan kepadamu. Amalmu bukan tiket ke syurga. Tapi ikhlasmu dalam beramal merupakan wadah bagi ridlo dan rahmat-Nya, yang menarik dirimu masuk ke dalamnya…” Pemuda itu semakin bengong antara tahu dan tidak. “Begini saja, anak muda. Mana mungkin syurga tanpa Allah, mana mungkin neraka bersama Allah?” Pemuda itu tetap saja bengong. Mulutnya melongo seperti kerbau. |
الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
Ketahuilah!
Sesungguhnya wali-wali Allah, tidak ada kekhuwatiran terhadap mereka, dan mereka pula tidak bersedih hati. Wali-wali Allah itu ialah orang-orang Yang beriman serta mereka pula sentiasa bertaqwa. (Yunus 10: 62-63)
Love for Allah
If my love is attached to Thee
Then from sin I will be free
Each time my heart will beat
Your name will resound with heat
With your name shivers my each limb
They seek to be released from whim
Allah, Allah, is my hearts speech
Your Mercy is what I beseech
The Most Merciful keep me content
With all that You have sent
Keep in my heart Your remembrance
And in Your deen and love allow me to advance
Help me in my quest
Permit me to pass the ultimate test
Save me from the clutches of Satan
Give me death upon Imaan.
Sholat from Hensika Setiawan
Tiket ke Syurga
Label:
Humor Sufi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment