Karena itu kita dapati bahwa sepanjang zaman kaum sufi tetap saling berdekatan. Para syekh sufi menyertai muridnya dalam semua tahap kemajuan.
Kita harus membedakan antara istilah "keadaan" (hal) dan "kedudukan" (maqam). Yakni perbedaan antara bagaimana dan di mana. Keadaan (hal) berarti sesuatu yang dapat diraba atau dirasakan. Kadang-kadang orang dapat merasakan keadaan rohani yang sangat murah hati atau peningkatan kesadaran yang hebat. Namun keadaan ini mungkin tidak langgeng. Yang sesungguhnya diinginkan oleh si pencari (salik) ialah mencapai suatu kedudukan (maqam) yang hanya dapat terjadi bila didirikan sebagaimana mestinya dan kokoh. Kedudukan tidak bersifat sementara dan selalu dapat diandalkan dan diingat. Kebanyakan penempuh jalan Allah (salik) akan merasakan keadaan-keadaan yang berbeda dengan berbagai macam tingkat kelanggengan yang tidak permanen, yang tidak memuaskan dan tak cukup. Karena itulah maka pertolongan diperlukan untuk menjamin agar seorang pencari menjadi tetap dalam kedudukan (maqam) yang diinginkan. Maka mendampingi dan berhubungan dengan orang-orang yang berada pada jalan itu adalah suatu faktor penting dalam kemajuan seorang pencari. Alasan penting lain untuk mendapatkan pendampingan yang tepat ialah bahwa kita selalu merupakan produk dari saat yang terakhir, dan karena saat itu dilahirkan dari saat sebelumnya, dan begitu seterusnya, ada suatu kesinambungan. Seseorang yang berdiri sendiri tak dapat menyadari seberapa jauh ia telah menyimpang dari jalan pengetahuan-diri atau penyadaran-diri. Dengan demikian, seorang pencari memerlukan teman untuk menggambarkan kepadanya, seperti cermin, tentang keadaan atau kedudukannya
Sebagaimana dalam kasus ilmu fisika atau ilmu alam, di mana tak pelak lagi kita akan cenderung mengikuti seseorang yang mempunyai pengalaman dan kualifikasi yang lebih banyak dalam ilmu-ilmu tersebut, maka prinsip ini pun berlaku pada ilmu tentang diri (nafs). Pada tingkat fisik, kita secara konstan berusaha ke arah keselarasan dan tindakan yang benar, dan kita mengikuti orang yang ahli dalam bidang ini. Demikian pula bagi keselarasan batin, orang yang paling memenuhi syarat adalah syekh spriritual sufi yang sejati. Namun, ada suatu perbedaan antara ilmu lahir dan ilmu batin. Dalam ilmu lahir, segala cacat dan kekurangsempurnaan dapat dideteksi dengan mudah. Tidak demikian halnya dengan ilmu batin, misalnya, dimana seseorang dapat tersenyum padahal sebenarnya ia sangat resah. Pengetahuan tentang ilmu batin memerlukan spesialisasi yang lebih dalam. Yang diperlukan adalah obat "hati", yang tidak mudah diperoleh atau diberikan, sedang penyembuhan fisik dapat ditentukan, dianalisis dan logis, sehingga lebih mudah dicapai.
Adapun terhadap pertanyaan apakah yang terbaik itu hanya mengikuti satu guru rohani saja, ataukah banyak. Diantara orang-orang besar yang telah saya baca riwayatnya dan pernah saya temui, sebagian telah mengikuti banyak syekh sufi. Namun pada hakikatnya penempuh sejati jalan pencerahan hanya melihat satu syekh sufi. Para syekh sufi itu mungkin berbeda dalam bentuk dan ciri lahiriahnya, tetapi hakikat batinnya adalah satu dan sama. Seorang syekh sufi mungkin sangat tua dan sangat pendiam, syekh lainnya mungkin masih muda dan dinamis. Yang satu mungkin telah berperan-aktif secara politik, sedang yang lainnya tidak demikian. Seseorang mungkin produktif secara ekonomi dan bekerja di pertanian. Yang lainnya menjadi ilmuwan. Yang satu mungkin sangat akrab bermasyarakat sedang yang lainnya menjauhi masyarakat dan lebih menyendiri, dan sebagainya. Penampilan lahiriah dan kecenderungan mereka, seperti sidik jari, berbeda-beda, tetapi seorang pencari yang tulus tidak memusingkan yang lahiriah. Seorang pencari yang mentaati batas-batas yang ditetapkan oleh syari'at sangat memperhatikan perkembangan batin.
Hakikat batin berhubungan dengan esensi dan sumber. Bilamana hakikat batin mendatangi sumber, maka terjadilah kesatuan. Bilamana orang bergerak menjauhi sumber cahaya, maka ia membeda-bedakan dan melihat berbagai bayangan-bayangan yang berbeda dan sama serta profil yang berbeda-beda. Makin dekat orang meridatangi sumber cahaya, makin sedikit ia melihat perbedaan, sampai ia silau dan tenggelam serta terliputi oleh cahaya itu sendiri. Dengan kata lain, apabila seseorang telah mengambil seorang guru sufi sejati secara benar maka pada hakikatnya ia telah mengambil semua guru sufi. Adalah keliru mengira bahwa orang dapat membuang satu guru sufi lalu pergi kepada guru lainnya, kecuali apabila yang pertama tidak becus atau penipu.
Ketika si pencari berkembang dan bergerak maju, ia dapat melihat dirinya diawasi oleh guru rohaninya dan para guru rohani yang ditemuinya karena rasa hormat guru rohaninya sendiri. Pencari yang cerdas akan selalu hidup dan berperilaku seakan-akan semua syekh sufi yang telah ditemui sedang mengawasinya, sedang benar-benar ada bersama dia dan menjadi pembimbing, pemberi peringatan, dan sahabatnya.
Lantas timbul pertanyaan besar, bagaimana cara si pencari mendapatkan syekh sufi yang sejati? Atau, bagaimana dapat meyakini kualitas syekh tersebut? Para pengikut tradisi esoterik dan kebatinan percaya bahwa rahmat Allah menembus dan meliputi setiap situasi dan segala sesuatu. Guru yang tepat muncul pada saat yang tepat apabila seseorang mempunyai kesungguhan hati dan akhlak yang benar. Akhlak yang benar itu adalah kesabaran dan pengenalan terhadap kebutuhan. Dan dengan rahmat Allah inilah datang jawaban yang tepat pada waktu yang tepat bagi si pencari.
Seorang guru spiritual sejati harus mempunyai kualitas-kualitas dasar yang layak, sebagaimana seorang dokter harus memenuhi persyaratan dasar yang primer sebelum ia melakukan praktik kedokteran. Sebagai permulaan, seorang pemandu spiritual, yakni syekh sufi, harus mengetahui segala aspek lahiriah dari jalan Islam yang asli dan jalan hidup Islam. Ia harus sepenuhnya mengenal pengetahuan dan amalan Islam. Ia harus menerapkan apa yang ada dalam Al-Qur'an dan sunnah Nabi. Apabila ia tidak mengamalkan hukum-hukum lahiriah, bagaimana mungkin ia mempraktikkan aspek-aspek batin dari jalan hidup ini, apalagi menganjurkan orang lain untuk mengamalkannya? Maka guru spiritual yang sejati harus menghayati sendiri dengan sepenuhnya peraturan-peraturan lahir dan batin dalam Islam.
Syarat lain bagi seorang syekh sufi sebagai guru sejati adalah bahwa ia harus telah mencapai pencerahan yang sesungguhnya dengan mencapai pengetahuan yang sempurna tentang diri. Syekh harus mengetahui cakrawala diri (nafs) yang luar biasa luasnya. Barangsiapa mengenal dirinya, sesungguhnya ia mengenal Tuhannya.
Seorang syekh sufi sejati juga harus sudah mendapat izin secara ikrar untuk pergi dan membimbing orang lain pada jalan pengetahuan-diri, oleh seorang guru yang telah mencapai pencerahan dan berpengalaman serta telah diizinkan untuk mengajar, dan seterusnya, sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Karena, ada orang-orang yang tetap mentaati batas lahiriah syariat Islam, ada yang telah mencapai pengetahuan-diri, ada pula yang telah mencapai makrifat dan pengetahuan tentang diri, namun mereka tak mampu membimbing orang lain. Sebagaimana tidak cukup bagi seorang dokter hanya dengan sekedar mengkaji dan lulus ujian, serta mengamati dan menjadi asisten dokter lain, sebelum ia dapat membuka praktik sendiri. Ia juga harus diberi izin atau lisensi untuk praktik dokter oleh seorang dokter berkualifikasi yang puas dengan kemampuannya untuk berpraktik.
Syarat lainnya ialah bahwa harus ada seorang pencari yang menerima pengetahuan dari syekh sufi, sebagaimana harus ada pasien sebelum dokter dapat mempraktikkan kedokterannya. Akhirnya, sebagaimana tak ada gunanya bagi seorang dokter untuk mengurus orang sakit apabila si pasien tidak mampu atau tidak mau menerima obat atas penyakitnya, maka tak ada gunanya syekh sufi apabila si pencari tidak sungguh-sungguh mengikutinya.
Sekarang kita sampai pada hubungan antara pencari dan guru. Sejauh mana orang sakit mengambil maslahat dari dokter tergantung pada sejauh mana kepercayaannya terhadap obat yang diresepkan dan kerajinannya mengikuti resep itu. Prinsip yang sama, hanya diperbesar, berlaku pada ilmu pengetahuan-diri dan tasawuf. Akhirnya, yang penting adalah ketajaman dan kehalusan pemahaman antara si syekh sufi dan si murid. Jarak hubungan mereka yang hakiki akan menentukan kecepatan si pencari dalam mengambil dan menyerap warna dan pengertian si guru. Guru itu bagaikan sebuah garputala, dan apabila si murid membiarkan dirinya secara total bergetar dalam gaungnya, yakni sepenuhnya mengikuti gurunya, maka ia akan segera menyanyikan lagu yang sama dengan guru spiritualnya. Ini tidak terjadi dengan serta-merta, tapi dapat berkembang dan berevolusi dengan menanyakan, menguji dan menyesuaikan, sampai si pencari mempercayai gurunya sepenuhnya. Akan datang suatu waktu ketika komitmen total harus dibuat. Si pencari akan memasuki suatu perjanjian yang disebut inisiasi (pelantikan).
Upacara inisiasi telah menjadi suatu peristiwa penting di kalangan banyak tarekat sufi. Banyak sufi semu telah menirunya dan telah membumbuinya lebih jauh serta menempelkan nilai-nilai mistik kepadanya. Satu contoh ialah praktik-praktik rahasia kaum Freemason. Dalam kelompok ini, bila seorang anggota mencapai level tertentu di dalam "tarekat" itu, ia dikubur hidup-hidup untuk sementara dalam sebuah peti mati, yang secara simbolis menyiratkan pengalaman pribadi tentang kematian, sementara masih berada dalam kehidupan dunia ini. Setelah beberapa saat ia dikeluarkan dari peti mati dan "dikembalikan" kepada kehidupan ini. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Matilah sebelum kamu mati," yang artinya melakukan pelepasan dan kebebasan sebelum terjadi peristiwa pelepasan dari jasad Anda.
Fondasi inisiasi adalah suatu ikatan atau perjanjian yang mempersatukan guru dan murid. Perjanjian tersebut tidak tertulis dan karena itu mengambil bentuk baiat (sumpah setia). Si pencari setuju untuk mentaati si guru, dan si guru setuju untuk mengurus kemajuan si murid serta membimbingnya.
Kebalikan dari inisiasi, yakni pengusiran, kadang-kadang juga terjadi ketika si guru dan murid mencapai suatu keadaan di mana ikatan antara keduanya menjadi tak berlaku dan hubungan itu mati. Ada kalanya pencari meninggalkan gurunya dan menyoroti segala yang nampak tidak menyenangkan pada si guru. Kemarahan si pencari menyebabkan ia melihat semua aspek negatif dari hubungan itu, dan menurut penglihatannya sia-sialah segala pengorbanan yang telah dilakukannya. Bagi si guru, si pencari yang minggat dengan kemarahan itu adalah seorang korban baru dari nafsu yang rendah dalam diri manusia.
Derajat kecanggihan dan kompleksnya peraturan inisiasi nampaknya banyak tergantung pada kecenderungan syekh sendiri, dan pada lingkungannya. Beberapa syekh tertarik pada upacara-upacara, pada hierarki, dan pada pemberian nama-nama kepada orang sesuai dengan kedudukan (maqam) dan kapasitasnya, seperti, misalnya, para syekh Sanusi di Libya yang secara spiritual, sosial, politik, dan ekonomi memimpin dan menguasai jaringan desa dan kota yang sangat luas selama hampir satu abad. Di sisi lain. beberapa syekh tidak menggunakan bentuk formal atau seremonial dalam inisiasi, entah karena watak dari kedudukan mereka dalam masyarakat atau karena mereka tidak memandangnya perlu. Jadi, lingkungan sosio-kultural dan pembawaan para syekh itu sendiri merupakan dua faktor utama yang menentukan derajat formalitas dalam setiap tarekat sufi.
Tujuan terakhir dari syekh sufi ialah membantu muridnya untuk menemukan kebenaran dalam diri dan untuk dicerahi tentang hakikat. Agar terpenuhi setiap waktu, pentinglah menemukan sebab-sebab ketidakbahagiaan. Sebab hakiki dari semua ketidakpuasan berakar pada pelanggaran batas-batas, pembangkangan, pengharapan, hasrat, ketakutan, kecemasan dan aspek-aspek lain seperti kurangnya pemahaman tentang alam hakikat. Dari sisi pandang kaum sufi, amal ibadah dasar yang ditetapkan oleh syari'at, seperti shalat, puasa di bulan Ramadlan, zakat, naik haji ke Makkah, dan seterusnya, walaupun wajib, tidaklah cukup bagi kebanyakan manusia yang sakit dalam rumah sakit besar bernama dunia ini. Dunia adalah rumah sakit Tuhan, dan para rasul, nabi, serta para wali atau syekh sufi adalah dokter jiwanya. Karena ada berbagai jenis penyakit, maka bangsal rumah sakit pun berbeda-beda. Ada klinik di mana pasien tidak tinggal lama ada kamar di mana pasien tinggal beberapa minggu atau bulan; dan ada kamar bedah di mana dokter, atau syekh sufi, terus sibuk "mengoperasi" pasien-pasiennya. Kita dapati pula "obat-obat" diresepkan sesuai dengan keperluan khusus si pasien, dengan mempertimbangkan lingkungan seluruhnya dan semua keadaan sekitar.
Fungsi terakhir dari seorang guru sufi ialah memindahkan si pencari secara berangsur-angsur, sesuai dengan kecepatan langkahnya, sampai ke tingkat di mana ia mampu membaca "kitab" yang ada di dalam "hati"-nya. Apabila si pencari mempelajari seni ini dan menjadi kuat serta bertindak sesuai kehendak, maka jelaslah ia sedang maju dan berkembang. Tujuan si syekh ialah melepaskan dan menyampaikan kepada orang lain apa yang telah dicapainya sendiri. Proses ini, sebagaimana dinyatakan sebelumnya, dapat ditingkatkan apabila lingkungan maupun pendampingannya tepat, dan bilamana si murid berniat untuk belajar dan berkemauan untuk bertindak, dan bertindak dengan semestinya. Guru tidak bisa berbuat banyak bila si pencari atau murid tidak ingin maju. Si penempuh jalan (salik) bisa menyerah pada suatu tahap perjalanan (suluk), sekalipun tinggal selangkah lagi. Namun, kadang-kadang, sekalipun si murid ingin maju, tidak ada jaminan bahwa tujuannya akan terpenuhi sesuai dengan harapan. Syekh al-Faituri (m. 1979) berkata sebagai berikut tentang dilema guru dalam salah satu syairnya:
Betapapun besar si guru berusaha. Betapapun besar si murid menghendaki. Betapapun khusyuknya dia (beribadat) siang dan malam, Akhirnya pencerahan adalah anugerah Allah.
Tugas guru ialah membimbing si pencari sepanjang jalan yang sudah ditertibkan sampai ke titik di mana ia mampu duduk dalam kejagaan mutlak tanpa menjaga sesuatu. Ini puncak terakhir yang murni dan sederhana dari kondisi meditasi (khalwat). Sejak itu seterusnya, hanya Allah yang dapat menolong dia. Jadi, si pencari harus melengkapi sendiri setengah lingkaran, tetapi setengah lingkaran lagi tidak berada dalam kekuasaannya. Anda naik setinggi Anda dapat memanjat, lalu berserah diri!
Menurut pengalaman para sufi, tingkat kemajuan sepanjang perjalanan spiritual (suluk) tidak menurut garis lurus. Menurut studi mekanistis, seperti mempelajari bahasa, kemajuan itu berjalan agak lurus. Makin banyak waktu yang Anda curahkan untuk mempraktikkan bahasa, makin cakap Anda dalam berbahasa, karena hal itu dapat diprogram sehingga dapat diukur, dan oleh karena itu lebih mudah diperoleh. Di sisi lain, ilmu kebatinan, dapat diukur tetapi sukar. Apabila seseorang sanggup melenyapkan sama sekali segala keterikatan sekarang ini juga, maka kebangunan akan segera tercapai. Apabila tidak demikian, ia harus melewati tumpukan disiplin, peringatan yang terus-menerus, dan penderitaan yang tak henti-henti untuk dapat sampai pada kesadaran yang sempurna. Kemajuan spiritual tidak diukur seperti mengukur usaha-usaha lain. Orang mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun tanpa nampak terjadi sesuatu, dan kemudian tiba-tiba saja dalam dua hari segala sesuatu terjadi. Orang mungkin menghabiskan waktu bertahun-tahun mentaati gurunya, dan merasa bahwa tak terjadi banyak kemajuan, padahal dalam kenyataannya mungkin amat banyak "karat" spiritual telah disingkirkan selama waktu itu. Seperti menyingkirkan karat setebal beberapa inci, dan masih belum dapat melihat dasar logam di bawahnya, padahal logam itu mungkin sebenarnya hanya tinggal satu milimeter karat lagi. Kita tak mampu mengukur kemajuan spiritual secara lahiriah, karena ia berdasar pada kesucian "hati" dan kemauan untuk menanggalkan keterikatan. Itu tergantung pada derajat ketundukan si pencari kepada nabi. Mula-mula ia tunduk dengan menggunakan penalaran dan akalnya, dan dengan mempelajari seluruh hubungan sebab-akibat. Kemudian, kemajuan spiritual mengambil momentumnya sendiri. Sesudah itu, ketundukan yang sederhana membawanya kepada ketundukan yang lebih manis dan lebih spontan tanpa mengandung keraguan. Sebelum keadaan ini tercapai, tak banyak yang dapat terjadi. Jadi, waktu yang diperlukan untuk terjadinya pembukaan-pembukaan tertentu tidak dapat diukur semudah itu. Hubungan yang patut antara pencari dan guru spiritual diperlukan agar dapat dicapai kemajuan yang berkelanjutan. Murid terdekat Syekh Sufi Imam Junaid bernama Syibli. Imam Junaid (m. 910) sangat mencintainya. Pernah, dalam suatu pertemuan, salah seorang anggotanya mulai mengagumi dan memuji Syibli di hadapannya dan banyak orang lain. Imam Junaid menyela lalu mulai menceritakan segala kesalahan dan kekurangan Syibli. Syibli merasa malu dan diam-diam mengundurkan diri dari pertemuan itu. Ketika ia telah pergi, Imam Junaid berkata, "Saya melindunginya dengan perisai penghinaan dari panah berbisa pujian yang berlebihan." Karena, Imam Junaid tahu bahwa Syibli hampir mencapai suatu maqam spiritual, dan apabila pujian-pujian itu tidak dipotong, mungkin akan melambungkan egonya dan menciptakan rintangan. Rintangan terbesar terhadap kebangunan batin ialah menghargai diri sendiri.
Seluruh jalan hidup sufi berkisar pada menghilangkan keterikatan, dan keterikatan yang terbesar dan terburuk kebetulan adalah ilmu pengetahuan. Ada anekdot tentang Imam Abu Hamid al-Ghazzali (m. 1111) sehubungan dengan ini. Ketika Imam Ghazzali meninggalkan Baghdad untuk mencari syekh sufi, ia telah memperoleh semua pengetahuan lahiriah dari ilmu-ilmu Islam, tetapi batinnya yang terdalam belum terbangun. Ia membawa dua ekor keledai yang dimuati buku. Di tengah jalan ia dihentikan oleh seorang perampok yang hendak mengambil buku-bukunya. Imam Ghazzali menawarkan apa pun kepada perampok itu kecuali buku, tetapi si perampok hanya menghendaki buku, lalu mengambilnya. Tujuh atau delapan tahun kemudian, ketika Imam Ghazzali telah memenuhi pencarian sufinya, seseorang datang ke hadapannya di Makkah. Rupanya ia Nabi Khidr, yang memberitahukan kepada Imam Ghazzali bahwa jika bukan karena perampokan buku-bukunya, maka ia akan tetap mejadi budak buku-buku itu dan tidak akan menemukan "Buku" pengetahuan sesungguhnya yang berada di dalam hati setiap orang. Imam 'Ali berkata dalam hal ini, "Anda adalah 'Buku' [asli] yang terang."
Buku diperlukan pada awalnya sebagai alat bantu untuk penemuan batin, tetapi bila seseorang menjadi lebih kuat dengan pengetahuan batin, ia kurang memerlukan bantuan dari luar. Buku adalah seperti kursi dorong yang diperlukan seorang anak hanya pada awal kehidupannya. Namun sayangnya, banyak orang yang disebut ulama mempertahankan kursi dorongnya sepanjang sisa hidupnya. Di sisi lain, banyak sufi semu cenderung untuk membuang bukan saja buku tetapi juga bacaan hafalan sebagai barang yang sama sekali tidak diperlukan. Sikap meremehkan ini tak lain adalah bentuk pengangkatan diri, yang merupakan pemutarbalikan dan penyimpangan dari jalan spiritual yang sesungguhnya. Kitab-kitab dan bacaan merupakan alat bantu yang penting untuk membantu kebangunan batin, yang tak dapat diandalkan sepenuhnya dan tak boleh diabaikan sama sekali.
Pencari pengetahuan dan gnosis (makrifat) harus mengikuti jalan di bawah bimbingan seorang guru, sampai datang suatu saat di mana ia harus dibiarkan sendiri. Guru itu ibarat tongkat yang tidak perlu digunakan lagi setelah si pencari dapat berjalan sendiri. Saat itu tiba bila si murid tidak lagi memerlukan guru jasmaniah karena kini ia telah terisi langsung ke dalam sumber kekuatan sejati. Apabila seseorang mengatakan bahwa ia memerlukan guru lahiriah sepanjang hidupnya, maka ia telah salah membatasi ukuran sebenarnya dari potensi manusia dan kerahiman Ilahi. Apabila seseorang mengatakan bahwa ia sama sekali tidak memerlukan seorang guru maka ia sombong (takabbur) dan angkuh dan akan hidup di bawah kezaliman nafsu yang rendah. Namun, bagi setiap aturan ada kekecualian. Kekecualian tersebut dalam kasus orang yang tidak memerlukan guru lahiriah, atau yang tidak kelihatan memiliki guru jasmaniah yang nyata, untuk mengarahkan dan membimbingya. Dalam tradisi sufi, orang semacam itu disebut uwaisi. Istilah ini berasal dari nama seorang lelaki, Uwais al-Qarani, yang tinggal di Yaman di masa Nabi Muhammad SAW. Walaupun ia belum pernah bertemu secara fisik dengan Nabi, namun ia telah melihat beliau dalam mimpi-mimpinya, kabarnya Nabi SAW menyebutkan wali besar ini dengan mengatakan, "Nafas Yang Maha Pengasih datang kepada saya dari Yaman." Ketika orang mengetahui tentang tingkat spiritualnya, Uwais berusaha menyembunyikan diri di balik kehidupan biasa seorang gembala unta dan kambing, dan khalwat menjadi jalan hidupnya. Ketika ia ditanyai tentang hal ini, ia berkata, "Mendoakan manusia dalam ketidakhadiran orang yang didoakan adalah lebih baik daripada mengunjunginya, karena aspek-aspek ego mereka, seperti pakaian atau citra diri, dapat mengalihkan perhatian saya." Ia juga biasa mengatakan, "Menyuruh orang berbuat baik tidak menyampaikan saya pada seorang sahabat," dan "Saya memohon kepada setiap orang yang lapar untuk memaafkan saya, karena saya tak mempunyai apa-apa dalam dunia ini selain apa yang ada dalam perut saya." Bagi kaum sufi yang belakangan, Uwais menjadi prototipe orang sufi yang bersemangat yang tidak memihakkan dirinya kepada suatu tarekat sufi. Para sufi semacam itu menerima inisiasi atau cahaya mereka langsung dari cahaya (nur) Nabi, tanpa kehadiran secara fisik atau bimbingan dari seseorang guru spiritual yang hidup.
Segelintir sufi semu yang tidak mengikuti, dan tidak ingin mengikuti, seorang guru spiritual sejati untuk membimbingnya pada jalan spiritual, memanfaatkan situasi itu dan dengan tidak benar menamakan dirinya Uwaisi. Ini adalah salah satu taktik dan penipuan dari nafsu rendah yang tidak ingin diurus atau tunduk kepada Allah. Uwaisi sejati yang sebenarnya adalah langka. Orang yang sungguh-sungguh tertarik pada tasawuf mengikuti suatu jalan perbaikan-diri, kesadaran-diri, dan kebangunan-diri, dengan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh syekh sufi. ( Arsip Pustaka Islam)
No comments:
Post a Comment